Kenapa Harus Bermadzhab dan Taqlid
Pada Ulama?
Mazhab secara bahasa artinya adalah tempat untuk pergi. Berasal
dari kata zahaba – yazhabu – zihaaban . Mahzab adalah isim makan dan isim zaman
dari akar kata tersebut.
Sedangkan secara istilah, mazhab adalah sebuah metodologi ilmiah
dalam mengambil kesimpulan hukum dari kitabullah dan Sunnah Nabawiyah. Mazhab
yang kita maksudnya di sini adalah mazhab fiqih.
Adapula yang memberikan pengertian mazhab fiqih adalah sebuah
metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang
berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum
dalam kawasan ilmu furu’.
Nashiruddan al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah
serta orang-orang yang sefaham dengannya melontarkan kritik kepada orang-orang
yang bertaqlid dan menyatakan bahwa taqlid dalam agama adalah haram. Mereka
juga mengkategorikan pemikiran madzhab Abu Hanifah, madzhab asy-Syafi’i dan
madzhab-madzhab lain yang berbeda-beda dalam mencetuskan hukum setara dengan
ta’addud asy-syari’ah (syariat yang berbilangan) yang terlarang dalam agama.
(Lihat Silsilah Ahadits adh-Dha‘ifah ketika membahas hadits Ikhtilaf Ummah. )
Mereka juga tidak segan-segan lagi mengatakan bahwa madzhab
empat adalah bid’ah yang di munculkan dalam agama dan hasil pemikiran madzhab
bukan termasuk dari bagian agama. Bahkan ada juga yang mengatakan dengan lebih
ekstrim bahwa kitab para imam-imam (kitab salaf) adalah kitab yang menjadi
tembok penghalang kuat untuk memahami al-Qur’an maupun Sunnah dan menjadikan
penyebab mundur dan bodohnya umat.
Namun yang aneh dan lucu, justru mereka kerap kali mengutip
pendapat-pendapat ulama yang bertaqlid seperti: Izzuddin bin Abdis Salam, Ibnu
Shalah, al-Bulqini, as-Subki, Ibnu Daqiq al-Id, al-Iraqi, Ibnu Hazm, Syah
Waliyullah ad-Dihlawi, Qadhi Husain, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Hafizh Ibnu
Hajar al-Asqalani, adz-Dzahabi, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah,
as-Suyuthi, al-Khathib al-Baghdadi, an-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Ibnu
Rusyd, al-Bukhari dan lain-lain. Padahal diri mereka berkeyakinan bahwa ulama-ulama
di atas adalah orang yang salah memilih jalan karena telah bertaqlid dan
menghalalkannya. Lalu jika begitu, sebandingkah seorang al-Albani dengan
ulama-ulama di atas yang mau bertaqlid dan melegalkannya sehingga dia
mengharamkan taqlid? Apakah ulama-ulama di atas juga akan masuk neraka karena
melakukan dosa bertaqlid? Apakah ulama-ulama di atas juga bodoh tentang
al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah menurut mereka? Sebuah pertanyaan yang tidak
butuh jawaban, akan tetapi difikirkan dan direnungkan dengan fikiran jernih
serta jauh dari syahwat dan sikap fanatik yang berlebihan.
Jika di amati dengan seksama, orang-orang yang menolak taqlid
sebenarnya juga sering bertaqlid. Mereka mengambil hadits dari Shahih
al-Bukhari dan Muslim misalnya serta mengatakan bahwa haditsnya shahih karena
telah di teliti dan di kritisi oleh ahli hadits terkenal yaitu al-Bukhari dan
Muslim. Bukankah hal tersebut juga bagian dari bertaqlid dalam bidang hadits?
Bukankah juga, al-Bukhari adalah salah satu ulama pengikut madzhab (asy-Syafi’i)?
Kenapa mereka ingkar sebagian dan percaya sebagian? Lalu ketika mereka
mengikuti pemikiran Nashiruddin al-Albani, al-Utsaimin, Ibnu baz dan lain-lain
dengan sangat fanatik dan sangat berlebihan, di namakan apa?
Menurut orang-orang yang anti taqlid bahwa orang Islam harus
berijtihad dan mengambil hukum langsung dari al-Qur’an dan Sunnah tanpa
bertaqlid sama sekali kepada siapapun. Pemahaman seperti ini muncul akibat dari
kebodohan mereka memahami dalil al-Qur’an dan Sunnah serta lupa dengan sejarah
Islam terdahulu (zaman Shahabat). Mereka juga tidak pernah berfikir bahwa
mewajibkan umat Islam berijtihad sendiri sama dengan menghancurkan agama dari
dalam, karena hal itu, tentu akan membuka pintu masuk memahami hukum dengan
ngawur bagi orang yang tidak ahlinya (tidak memenuhi kriteria mujtahid).
Yang sangat lucu di zaman sekarang, terutama di Indonesia,
banyak orang yang membaca dan mengetahui isi al-Qur’an dan Hadits hanya dari
terjemah-terjemah, lalu mereka dengan lantang menentang hasil ijtihad ulama
(mujtahid) dan ulama-ulama salaf terdahulu dan bahkan mengatakan juga, mereka
semua sesat dan ahli neraka. Bukankan hal itu malah akan menjadi lelucon yang
tidak lucu? Lagi-lagi bodoh menjadi faktor penyebab ingkar mereka.
Sedangakan menurut ulama, seseorang dapat menjadi seorang
mujtahid (punya kapasitas memahami hukum dari teks al-Qur’an maupun Hadits
secara langsung) harus memenuhi kriteria berikut: handal dibidang satu persatu
(mufradat) lafazh bahasa Arab, mampu membedakan kata musytarak (sekutuan) dari
yang tidak, mengetahui detail huruf jer (kalimah huruf dalam disiplin ilmu
Nahwu), mengetahui ma’na-ma’na huruf istifham (kata tanya) dan huruf syarat,
handal di bidang isi kandungan al-Qur’an, asbab nuzul (latar belakang di
turunkannya ayat), nasikh mansukh (hukum atau lafazh al-Qur’an yang dirubah
atau di ganti), muhkam dan mutasyabih, umum dan khusus, muthlak dan muqayyad,
fahwa al-Khithab, khithab at-Taklif dan mafhum muwafaqah serta mafhum
mukhalafah. Serta juga handal di bidang hadits Rasulallah baik di bidang
dirayah (mushthalah hadits atau kritik perawi hadits) dan riwayat, tanggap
fikir terhadap bentuk mashlahah umum dan lain-lain. Jika kriteria-kriteria di
atas tidak terpenuhi, maka kewajibannya adalah bertaqlid mengikuti mujtahid.
Kami tidak pernah mengatakan bahwa pintu gerbang ijtihad telah
tertutup, karena kesempatan menjadi mujtahid tetap terbuka sampai hari kiyamat.
Namun secara realita, siapakah sekarang ini ulama yang mampu masuk derajat
mujtahid seperti asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hanbal dan
lain-lain. Adakah doktor-doktor syari’at zaman sekarang yang dapat di
sejajarkan dengan ulama-ulama pengikut madzhab seperti Imam an-Nawawi, Ibnu
Hajar dan lain-lain? Jika tidak ada yang dapat di sejajar dengan mereka, lalu
kenapa tiba-tiba mereka mendakwahkan diri berijtihad?
ketetapan wajib bertaqlid bagi orang yang belum sampai derajat
mujtahid adalah berdasar :
1. Dalil Al-Qur’an Q.S. an-Nahl: 43:
فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kalian semua kepada orang yang mempunyai
pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.”