Sejak zaman hadulu, di
sebagian masjid atau mushalla di Jawa ada kebiasan yang tidak dilakukan di
masjid atau mushalla lain, yaitu setelah adzan shalat maktubah dibacakan pujian
berupa dzikir, do’a, shalawat nabi atau sya’ir-sya’ir yang islami dengan suara
keras. Beberapa menit kemudian baru iqamat. Akhir-akhir ini banyak
dipertanyakan bahkan dipertentangkan apakah kebiasaan tersebut mempunyai
rujukan dalil syar’i? Dan mengapa tidak semua kaum muslimin di negeri ini
melakukan kebiasaan tersebtu? Dengan munculnya pertanyaan seperti itu warga
Nahdliyin diberi pengertian untuk menjawab : Apa pujia itu? Bagaimana
historisnya?
Bagaimana tinjauan hukum
syari’at tentang pujian? Dan apa fungsinya?
Pengertian Pujian dan
Historisnya
Pujian bersal dari akar
kata puji, kemudian diberi akhiran “an” yang artinya : pengakuan dan
penghargaan dengan tulus atas kebaikan/ keunggulan sesuatu. Yang dimaksud
dengan pujian di sini ialah serangkaian kata baik yang berbahasa Arab atau
berbahasa Daerah yang berbentuk sya’ir berupa kalimat-kalimat yang isinya
mengagungkan asma Allah, dzikir, do’a, shalawat, seruan atau nasehat yang
dibaca pada saat di antara adzan dan iqamat.
Secara historis, pujian
tersebut berasal dari pola dakwah para wali songo, yakni membuat daya tarik
bagi orang-orang di sekitar masjid yang belum mengenal ajaran shalat.
Al-hamdulillah dengan dilantunkannya pujian, tembang-tembang/sya’ir islami
seadanya pada saat itu secara berangsur/dikit demi sedikit, sebagian dari
mereka mau berdatangan mengikuti shalat berjamaah di masjid.
Pujian Ditinjau dari
Aspek Syari’at
Secara tekstual, memang
tidak ada dalil syar’i yang sharih (jawa : ceplos) mengenai bacaaan pujian
setelah di kumandangkannya adzan, yang ada dalilnya adalah membaca do’a antara
adzan dan iqamat. Sabda Nabi SAW :
الدُّعَاءُ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَاْلإِقَامَةِ مُسْتَجَابٌ، فَادْعُوْا.
رواه أبو يعلى
Artinya :
“Do’a yang dibaca antara adzan dan iqamat itu
mustajab (dikabulkan oleh Allah). Maka berdo’alah kamu sekalian”. (HR. Abu
Ya’la)
Kemudian bagaimana tinjauan syari’at tentang
hukum bacaan pujian di masjid atau mushalla seperti sekarang ini? Perlu
diketahui, bahwa membaca dzikir dan sya’ir di masjid atau mushalla merupakan
suatu hal yang tidak dilarng oleh agama. Pada zaman Rasulullah SAW. para
sahabat juga membaca sya’ir di masjid. Diriwayatkan dalam sebuat hadits :
عَنْ سَعِيدِ بْنِ
الْمُسَيِّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانَ بْنِ ثَابِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِى
الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ إِلَيْهِ فَقَالَ قَدْ أَنْشَدْتُ وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ
مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِى هُرَيْرَةَ فَقَالَ أَسَمِعْتَ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : أَجِبْ عَنِّى اللَّهُمَّ
أَيِّدْهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ. قَالَ اللَّهُمَّ نَعَمْ. رواه أبو دادو والنسائي
Artinya :
“Dari Sa’id bin Musayyab ia berkata : suatu
ketika Umar berjalan bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan
sya’ir di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab : aku melantunkan
sya’ir di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia dari pada kamu,
kemudian dia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya, Ya Allah,
mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan ruh al-qudus. Abu Hurairah menjawab :
Ya Allah, benar (aku telah mendengarnya)”. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).
Sehubungan dengan riwayat ini syaikh Isma’il
Az-Zain dalam kitabnya Irsyadul Mukminin menjelaskan : Boleh melantunkan sya’ir
yang berisi puji-pujian, nasehat, pelajaran tata karama dan ilmu yang
bermanfaat di dalam masjid.
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi dalam kitabnya
Tanwirul Qulub hal 179 juga menjelaskan :
وَأَمَّا الصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقِبَ اْلأَذَانِ
فَقَدْ صَرَّحَ اْلأَشْيَاخُ بِسُنِّيَّتِهِمَا، وَلاَ يَشُكُّ مُسْلِمٌ فِيْ
أَنَّهُمَا مِنْ أَكْبَرِ الْعِبَادَاتِ، وَالْجَهْرُ بِهِمَا وَكَوْنُهُمَا عَلَى
مَنَارَةٍ لاَ يُخْرِجُهُمَا عَنِ السُّنِّيَّةِ. إهـ
Artinya :
“Adapun membaca shalawat dan salam atas Nabi SAW.
setelah adzan (jawa : Pujian) para masyayikh menjelaskan bahwa hal itu hukumnya
sunat. Dan seorang muslim tidak ragu bahwa membaca shalawat dan salam itu
termasuk salah satu cabang ibadah yang sangat besar. Adapun membacanya dengan
suara keras dan di atas menara itu pun tidak menyebabkan keluar dari hukum
sunat”.
Pujian Ditinjau dari Aspek Selain Syari’at
Apa yang dilakukan para wali di tanah jawa
mengenai bacaaan pujian ternyata mempunyai banyak fungsi. Fungsi-fungsi itu
antara lain :
1. Dari
sisi syi’ar dan penanaman akidah.
Karena
di dalam bacaan pujian ini terkandung dzikir, seruan dan nasehat, maka hal itu
menjadi sebuah syi’ar dinul islam dan strategi yang jitu untuk menyebarkan
ajaran Islam dan pengamalannya di tengah-tengah masyarakat.
2. Dari
aspek psikologi (kejiwaan).
Lantunan
sya’ir yang indah itu dapat menyebabkan kesejukan jiwa seseorang, menambah
semangat dan mengkondisikan suasana. Amaliyah berupa bacaaan pujian tersebut
dapat menjadi semacam persiapan untuk masuk ke tujuan inti, yakni shalat
maktubah lima waktu, mengahadap kepada Allah yang Maha Satu.
3. Ada
lagi manfaat lain, yaitu :
·
Untuk mengobati rasa jemu sambil menunggu
pelaksanaan shalat berjamaah;
·
Mencegah para santri agar tidak besenda gurau
yang mengakibatkan gaduhnya suasana;
·
Mengkonsentrasikan para jamaah orang dewasa agar
tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika menunggu sahalat jamaah
dilaksanakan.
Dengan beberapa alasan sebagaimana tersebut di
atas, maka membaca pujian sebelum pelaksanaan shalat jamaah di masjid atau
mushalla adalah boleh dan termasuk amaliyah yang baik, asalkan dengan
memodifikasi pelaksanaannya, sehingga tidak mengganggu orang yang sedang
shalat. Memang soal terganggu atau tidaknya seseorang itu terkait pada
kebiasaan setempat. Modifikasi tersebut misalnya : dengan cara membaca
bersama-sama dengan irama yang syahdu, dan sebelum imam hadir di tempat shalat
jamaah.
Kalau semua masalah tentang pujian sudah demikian
jelasnya, maka tidak perlu ada label “BID’AH DLALALAH” dari pihak yang tidak
menyetujuinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apakah Artikel ini bermanfaat bagi ANDA ?