Ajaran Tasawuf dalam Puji-pujian Menjelang Shalat Fardlu
Puji-pujian
didendangkan di mushalla, langgar atau masjid merupakan nyanyian puitis yang
bernuansa keagamaan. Puji-pujian tersebut biasanya didendangkan bersama-sama
oleh para jemaah menjelang shalat Subuh, Dzhur, Ashar,
Maghrib atau Isya sembari menanti
datangnya anggota masyarakat lain yang turut mendirikan shalat berjamaah.
Puji-pujian tersebut ada yang menggunakan bahasa Arab maupun bahasa daerah.
Mungkin berkat susunannya
yang ritmis, puji-pujian ini mudah dihafal dan menyebar dari satu musala
atau masjid ke musala lainnya.
Puji-pujian
yang didendangkan para jemaah ini biasanya selalu didahului dengan salawatan
atau membaca shalawat Nabi dan puji-pujian pada Nabi SAW. Meskipun puji-pujian
tersebut berbahasa Jawa, puji-pujian ini selalu didahului shalawat nabi yang
memiliki berbagai keutamaan.
Dari
Hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a ( dalam Assamarqandi, 1980: 619) Nabi
SAW bersabda yang artinya: “Bacalah shalawat untukku, sebab bacaan shalawat itu
membersihkan kekotoranmu (dosa-dosamu) dan mintalah kepada Allah untukku
wasilah. Apakah wasilah itu ya Rasulullah? Jawabnya: Satu derajat yang
tertinggi dalam sorga yang tidak akan dicapai kecuali oleh seorang, dan
saya berharap semoga sayalah orangnya”.
Orang
mengenal pujian disebarkan oleh kalangan pesantren dan ada yang mengatakan
puji-pujian ini diperkenalkan oleh para walisongo, yakni penyebar agama Islam
di Pulau Jawa. Seperti yang masyarakat kenal lewat sejarah bahwa pendekatan
yang digunakan para Walisongo dalam menyebarkan agama Islan adalah pendekatan persuasif yang bersifat
kemasyarakatan sesuai dengan adat dan budaya masyarakat waktu itu.
Salah
satu contohnya adalah Sunan Giri yang menciptakan Asmaradana dan Pucung. Sunan
Giri jugalah yang menciptakan tembang-tembang dolanan anak-anak yang di
dalamnya diberi unsur keislaman, misalnya Jamuran, Cublak-cublak Suweng,
Jithungan dan Delikan (Rahimsyah, tanpa tahun: 54).
Selain
Sunan Giri, ada lagi Sunan Bonang yang menciptakan karya sastra yang disebut
Suluk. Suluk berasal dari bahasa Arab ”Salakattariiqa” , artinya menempuh jalan
(tasawuf) atau tarikat.
Ilmu
Suluk ini ajarannya biasanya disampaikan dengan sekar atau tembang disebut
Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut
Wirid. Salah satu Suluk Wragul dari Sunan Bonang yang terkenal adalah
Dhandanggula. Sebagian masyarakat (yang mengenal tarikat) mengatakan bahwa teks
puji-pujian diciptakan oleh para pemimpin tarikat dan Syekh Abdul Qadir
Jailani.
Puji-pujian
yang diperdengarkan di musala berisi shalawatan, do’a-doa mustajabah, dan
petuah-petuah hidup. Puji-pujian yang diperdengarkan di musala-musala atau
masjid-masjid kental dengan ajaran Tasawuf.
Obat Hati Lima Perkara
Pedoman
hidup muslim adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Al-Qur’an diturunkan Allah melalui
utusan-Nya , yakni Nabi Muhammad SAW. Dengan adanya Al-Qur’an dan Al-Hadits ini
menjadi jelaslah jalan lurus yang harus ditempuh manusia serta aliran yang
benar yang harus diikuti untuk memahami pengertian-pengertian hukum yang
tercantum di dalamnya. Hal ini pulalah yang merupakan pemisah antara yang halal
dan haram. Fungsinya adalah sebagai cahaya yang cemerlang, dengan berpegang
teguh itu akan selamatlah setiap manusia dari tipuan. Kandungannya penuh dengan
penawar untuk menyembuhkan hati dan jiwa yang sakit.
Mengenai
obat hati ini, dalam teks puji-pujian ditawarkan adanya lima hal yang mampu
menjadi obat bagi hati manusia. Kelima hal tersebut adalah (1) membaca Alqur’an
dengan mengendapkan maknanya, (2) memperbanyak melakukan shalat malam, (3)
berkumpul dengan orang Shaleh atau bergaul dan berguru pada orang Shaleh, (4)
mampu menahan lapar atau perbanyak berpuasa, dan (5) perbanyak berdzikir di
malam hari. Berikut kutipannya.
Tombo ati iku limo sak
wernane
Kaping pisan maca Qur’an
sak maknane
Kaping pindu shalat wengi
lakonono
Kaping telu wong kang
shaleh kumpulono
Kaping papat kudu weteng
engkang luwe
Kaping limo dzikir wengi
engkang sue
Syair
obat hati ini kemudian diakhiri:
Insya
Allah Gusti Allah ngijabahi Insya Allah,
Allah
mengabulkan
Mengingat
Kematian Setiap yang hidup pasti akan mati, demikian halnya dengan manusia.
Semua manusia di dunia ini akan mati. Untuk itu melalui salah satu puji-pujian
manusia diingatkan akan datangnya kematian. Adapun teksnya adalah sebagai
berikut.
Ilingono para timbalan
(Ingatlah jika sudah
waktunya dipanggil)
Timbalane ora keno
wakilan’
(Panggilannya tak bisa
diwakilkan)
Timbalane kang maha mulya
(Panggilan dari Yang Maha
Kuasa)
Gelem ora bakal lunga
(Mau-tak mau harus pergi)
Panggilan
yang dimaksudkan adalah panggilan Yang Maha Kuasa.Tak ada satupun yang kuasa
menghalanginya. Harta, tahta, ataupun kerabat dan keluarga takkan bisa
menghentikannya. Panggilan untuk
mempertanggungjawabkan segala perbuatan selama di dunia. Hendaknya selama masih
hidup selalu ingat dan takut hanya pada Allah karena dengan rasa takut itu
menjadikannya berhati-hati dan berusaha selalu di jalan yang benar.
Gambaran orang yang sudah mati dalam teks puji-pujian
adalah sebagai berikut.
Klambine diganti putih
(Bajunya diganti putih)
Nek budal ora bisa mole
(Jika berangkat tak bisa
kembali)
Tumpak ane kereto jowo
(Kendaraannya kereta
Jawa)
Roda papat rupa menongsa
(Beroda empat berupa
manusia)
Oma e rupa goa
(Rumahnya serupa Go’a)
Ora bantal ora keloso
(Tak ada bantal ataupun
tikar)
Omah e gak nok lawange
(Rumahnya tidak ada
pintunya)
Turu ijen gak nok rewange
(Tidur sendirian tak ada
yang menemani)
Perintah
untuk memperbanyak mengingat kematian dalam sebuah hadist yang diriwayatkan
Tirmidzi (dalam Addimasyqy, 1983: 1048) menyebutkan bahwa Rasulullah SAW
bersabda: ” Perbanyaklah mengingat-ingat sesuatu yang melenyapkan segala macam
kelezatan (kematian)”. Selain itu, mengingat kematian dapat melebur dosa dan
berzuhud. Dengan mengingat kematian maka kematian itu sendiri sebagai pengingat
pada diri sendiri dan orang yang tercerdik adalah orang yang terbanyak
mengingat kepada kematian sebagaimana makna hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dan Ibnu Abiddunnya berikut.
”Secerdik-cerdik
manusia ialah yang terbanyak ingatannya
kepada kematian serta yang terbanyak persiapannya untuk menghadapi kematian
itu. Mereka itulah orang-orang yang benar-banr cerdik dan mereka akan pergi ke
alam baka dengan membawa kemuliaan akhirat” (dalam Addimasyqy, 1983: 1049).
Menurut
Imam Ahmad bin Hambal (dalam Dahlan, dkk, 1988: 324), seorang ahli fiqih,
membagi zuhud menjadi tiga, yakni
(1)
meninggalkan yang haram (zuhud orang awam);
(2)
meninggalkan yang tak berguna dari yang halal (zuhud orang khawash, para
aulia’); dan
(3)
meninggalkan sesuatu yang dapat memalingkan diri dari Allah SWT (zuhud orang
Arifin, orang yang sangat dekat dan kenal benar pada Allah.
Faiqotur Rosidah
Pengajar
di P.P Darul ‘Ulum Peterongan Jombang, sedang menyelesaikan S-2 di Program
Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya (UNESA)
Sumber:
https://islam.nu.or.id/post/read/25851/ajaran-tasawuf-dalam-puji-pujian-menjelang-shalat-fardlu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apakah Artikel ini bermanfaat bagi ANDA ?