DONATUR TPQ AT TAQWA

DONATUR TPQ AT TAQWA

Minggu, 12 Januari 2020

3 Penyebab Pecahnya Umat Islam

3 Penyebab Pecahnya Umat Islam

Akhir-akhir ini, kita sering kali menyaksikan pelbagai macam konflik, perseteruan bahkan pembunuhan di antara umat muslim. Dan ironisnya lagi, pelaku dari ini semua adalah mereka yang mengaku-ngaku atas nama agama dan diperitahkan oleh al-Qur'an. Oleh karena itu, seakan-akan Islam sudah menjadi 'bahan permainan' oleh pihak yang tak bertanggung jawab. Dan umat islam sendiri telah dijadikan sebagai "sasaran empuk" dari ganasnya konflik-konflik tersebut. Sehingga pada akhirnya, Islam dan pemeluknya lah yang menjadi korban; Islam dipandang sebagai agama penuh konflik dan kekerasan. Sementara Muslimnya dinilai sebagai makhluk yang  intoleran, sinis dan mudah tersinggung.


Padahal kita tahu bahkan mereka pun juga mengetahui bahwa Islam sendiri melarang umatnya untuk terpecah belah, berseteru apalagi saling membunuh (Qs. Ali -Imran[3]: 103). Mereka paham betul bahwa Islam mengajarkan perdamaian, toleransi dan kasih sayang. Mereka sadar bahwa selagi masih sesama muslim, siapapun adalah saudara dan itu wajib dihormati dan dilindungi. Namun kenyataannya yang terjadi pada hari ini berbeda. Justru mereka melanggar dan menyalahi kesadaran mereka itu sendiri. Bukankah ini satu "intrik politik" yang membahayakan?. Bukankah ini satu "kebohongan" perlu diwaspadai?. Kalau bukan karena ada 'kepentingan dan motif" terselubung, tentu mereka tak akan berani melakukan hal tersebut. 
Terlepas dari itu semua, sebenarnya ada beberapa penyebab yang memicu terjadinya perpecahan di tengah-tengah umat muslim tersebut. Setidaknya ada tiga penyebab, yakni sebagai berikut:
Pertama, kebodohan. Ya, kebodohan adalah satu faktor yang sangat rentan menimbulkan perpecahan. Bagaimana tidak, gara-gara ketidaktahuan seseorang terhadap sesuatu, satu orang dengan lainnya bisa saling cek-cok. Masing-masing menggangap dirinya benar. Atau menuduh yang lain salah, sementara dirinya sendiri paling benar dan pantas. Satu contoh kecil perpecahan yang terjadi akibat kebodohan ini adalah seperti seorang imam yang melakukan sujud tilawah, sementara ada jamaah yang menilainya sebagai suatu 'keanehan' dalam shalat atau bahkan menyesatkan. Karena memang yang ia tahu shalat tidaklah demikian, yakni melakukan sujud di tengah-tengah masih dalam kondisi berdiri (saat membaca surat). Menurutnya, ini adalah kesesatan. Akhirnya, saat itu juga ia akan menuduh si imam tersebut, shalanya batal, ajarannya sesat dan lain sebagainya. Dan saat itu pula, perseteruan tak bisa dielakkan. Ini adalah salah satu contoh betapa dahsyatnya kebodohan dalam menimbulkan sebuah konflik antar sesama.
Oleh sebab itulah, Allah melarang kita untuk tidak gegabah dalam menilai atau memutuskan sesuatu. Bukan dengan hawa nafsu, melainkan harus didasari dengan ilmu (Qs. al-Isra' [15]: 36). Kalau memang orang lain salah, jangan serta merta langsung memvonisnya sesat.  Melainkan harus mengedepankan etika, yakni tetap melakukan tabayun (cross cek) terlebih dahulu terhadap pihak terkait: seperti apa yang sebenarnya terjadi. Supaya tidak menjadi percekcokan yang berkepanjangan (Qs. Al-Hujurat []: 6). Sehingga dalam kondisi apapun, ilmu adalah segalanya. Tidak ada yang bisa menjamin kebenaran atau kelirunya seseorang, kecuali dengan tolak ukur keilmuan. Dan tidak ada yang bisa menjadikan seorang anak Adam berperadaban serta beretika kecuali sebab ilmu yang dimilikinya. Maka betul sekali apa yang disabdakan oleh Rasulullah: "seandainya tidak ada ilmu, mesti lah manusia akan bertingkah seperti hewan". 

Kedua, tidak menerima perbedaan. Disamping karena kebodohan seseorang, konflik antar sesama muslim juga terjadi karena masing-masing dari mereka masih ada yang tidak mau menerima perbedaan. Baik perbedaan pandangan, cara berpikir, cara hidup maupun cara beribadah. Artinya, setiap insan akan lebih mudah terpancing untuk menyalahkan orang lain yang "berbeda" dengan dirinya. Sehingga wajar, bila kemudian adu mulut pun terjadi, bahkan sanpai saling  menyesatkan satu sama lain. Dikiranya, semua  yang dilakukan orang lain, harus sama dengan apa yang ia yakini dan ia amalkan. Padahal sudah jelas bahwa  menyatukan perbedaan atau menyamaratakannya menjadi satu persepsi adalah adalah suatu pemaksaan. Dan justru akan menyulut api pertengkaran. Mengapa demikian? Sebab, perbedaan di tengah umat adalah sunnatulah; ia adalah suatu kewajaran, dan Allah sendiri yang memang menghendaki demikian. Dengan kata lain, menyeragamkan perbedaan tersebut menjadi satu persamaan merupakan suatu yang mustahil, sebab nyatanya manusia memang sudah diciptakan dan akan lebih cenderung berselisih antara satu dengan yang lainnya (Qs. Yusuf []: 118).
 Contoh misalnya, persoalan Qunut Shubuh. Ya, masyarakat kita sampai sekarang ini, masih terus bersilang pendapat dan ada yang tetap enggan menerima perbedaan terkait amaliah satu ini. Masing-masing bersikukuh dengan argumentasinya; satu menganggap bahwa yang melakukan Qunut Subuh adalah benar karena memang diajarkan Nabi. Sementara yang lain menilai bahwa itu adalah kebida'ahan (kreasi baru yang tidak ada legalitas dalam agama). Sehingga ia akan menyalahkan pihak yang mengamalkannya. Maka pada akhirnya, kedua belah pihak pun terhanyut dalam perseteruan, dan saling menjatuhkan satu sama lain.
 Padahal Qunut Subuh adalah salah satu fenomena perbedaan itu sendiri, dan agama mengakui hal itu. Buktinya, banyak hadis yang menginformasikan bahwa Nabi setiap Shalat Shubuh sepanjang hayatnya tak pernah meninggalkan Qunut. Dan ada pula riwayat yang menyatakan sebaliknya, bahwa Nabi tidak mengamalkan Qunut ini sebagai rutinitas ibadahnya setiap Subuh. Sehinga wajar bila kemudian para imam Mujtahid,  pun bersilang pendapat terkait statusnya; ada yang mengatakan sunah, sementara ada yang tidak, bahkan ada yang mengatakan makruh. Semuanya memang didasarkan pada keterangan hadist-hadist Nabi. Dengan demikian, persoalan Qunut atau tidak Qunut adalah persoalan perbedaan yang tak perlu diangkat menjadi masalah yang serius. Yang terpenting, cukup menyikapinya dengan bijak yakni tidak saling menyalahkan, menilai paling benar, dan menjatuhkan lawan gara-gara perbedaan amaliah ini. Karena perbedaan tak perlu dilawan; yang berbeda tak perlu disama-samakan dan yang sama tak perlu dibeda-bedakan. Maka tepat sekali apa yang dikatakan Quraisy Shihab, bahwa dia menyatakan: "jangan kau tanyakan 5 + 5 hasilnya berapa, tapi tanyakan lah, berapa tambah berapa yang hasilnya 10?. Demikianlah lah cara Nabi mengajarkan tentang perbedaan."
Ketiga, fanatisme buta. Faktor lain yang menjadikan umat Islam ini terpecah belah adalah karena mereka terlalu fantastis terhadap kelompok, persepsi atau pandangan yang diyakininya. Artinya, mereka terlalu "over" dalam menilai pandangan atau keyakinannya sendiri. Misal, yang NU menilai dirinya paling besar, yang Muhammadiyah juga demikian. Begitu pun yang Salafie- Wahabi, juga tidak mau kalah, mereka bersikukuh  bahwa kelompoknya lah yang benar dan lurus. Masing-masing tidak membuka diri untuk melihat perbedaan, keanekaragaman, dan kebebasan pendapat orang lain. Sehingga pada akhirnya, benih-benih kebencian, sinis dan inklusifme pun tumbuh. Maka jangan salah bila kemudian perseteruan antar kelompok adalah hasil anding-nya.
 Apakah fantastis terhadap satu kelompok itu sepenuhnya dilarang?. Tentu tidak. Justru sifat fantastis ini adalah suatu hal yang lumrah dan bahkan (dalam kondisi tertentu) ia wajib dimiliki seseorang. Karena memang itu merupakan konsekuensi bagi dirinya setelah berbaiat kepada kelompok yang diyakininya dan hal itu juga sebagai upaya untuk menjaga eksistensi kelompok itu sendiri. Namun, yang menjadi permasalahannya adalah, ketika sikap fanatisme ini sudah tidak bisa dikontrol lagi. Sehingga berubah menjadi sikap inklusifme, yakni menutup diri dari orang lain, dan meyakini bahwa diri dan kelompoknya lah yang paling benar. Inilah yang berbahaya. Sebab, sifat seperti ini akan sangat mudah menimbulkan perselisihan dan perseteruan.
Kita bisa menyaksikan bagaimana tegangnya perseteruan antara NU vs Muhamadiyah tentang persoalan Qunut dan dzikir setelah shalat saat itu?. Kita juga melihat bagaimana ganasnya perselisihan antara Wahabi vs tentang ziarah Kubur, tawasul, tahlililan hingga sampai saat ini?. Kalau bukan karena sikap fanatisme yang buta, tentu mereka tidak akan seperti itu. Oleh karena itulah, kini saatnya, kita buka lebar-lebar mata dan wawasan kita, kita kontrol nafsu dan amarah kita. Jangan sampai perseteruan ini terjadi lagi, jangan sampai sikap fanatisme ini menjadikan umat Islam terpecah belah. Dan yang terpenting, bekali semua tindakan dan perkataan kita dengan ilmu lalu disampaikan kepada yang lain dengan bijak, karena hanya dengan cara inilah konflik bisa meredam dan perdamaian akan terwujud.
Demikianlah tiga penyebab yang memicu pecahnya umat Islam saat ini. Ketiganya, baik kebodohan, tidak mau menerima perbedaan, maupun fanatisme buta, masing-masing memiliki pengaruh luar biasa dalam mensugesti seseorang atau kelompok untuk mudah terpancing berselisih dan berseteru antara satu dengan lainnya Oleh karena itu, ketiga-tiganya harus disingkirkan dari jiwa unta muslim. Umat Islam harus berilmu dan berwawasan luas. Umat Islam harus lebih mengerti dengan keanekaragaman masyarakat. Umat Islam harus lebih 'lentur" dalam berkelompok. Umat Islam harus mengedepankan kasih sayang, toleransi dan saling menghormati antar sesama. Hany ini lah yang bisa menciptakan sekaligus yang bisa mencegah terjadinya perpecahan di tengah umat saat ini dan nanti. []


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apakah Artikel ini bermanfaat bagi ANDA ?

PUSTAKA UNGGULAN

20 Manfaat Daun Kelor bagi Kesehatan, Bisa Bangkitkan Libido!

Tanaman kelor biasanya digunakan untuk mengusir makhluk tak kasat mata, namun ternyata ada banyak manfaat daun kelor bagi kesehatan.  Hal i...

PUSTAKA POPULER