Perbedaan NU dan Muhammadiyah merupakan salah satu topik yang paling banyak ditanyakan pada redaksi Kabar Muhammadiyah di media sosial. Karena itu kami rasa perlu untuk membahas secara lengkap dan komprehensif mengenai perbedaan NU dan Muhammadiyah.
NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Patut diketahui, di Indonesia ada banyak sekali organisasi Agama Islam seperti NU, Muhammadiyah, LDII, dan lain sebagainya.
NU dan Muhammadiyah adalah suatu organisasi masyarakat yang bergerak di bidang keagamaan atau dapat juga disebut organisasi keagamaan yang ada di Indonesia, bahkan merambah ke mancanegara. (Muhammadiyah kini punya 23 cabang di luar negeri)
Namun masih sangat banyak orang yang belum mengetahui apa perbedaan NU dan Muhammadiyah, kecuali kadang perbedaan Hari Raya Idul Fitri dan penentuan tanggal 1 Ramadhan.
NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan memiliki pengikut yang cukup banyak serta berpengaruh cukup besar terhadap negara. Pegaruh kedua organisasi ini hampir mencakup semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara seperti agama, ekonomi, politik, sosial budaya, dan lain sebagainya.
Kedua organisasi islam terbesar di dunia ini kerap kali memiliki masalah perbedaan dari pola pandang masing – masing. Sebelum mengetahui perbedaan NU dan Muhammadiyah, maka anda harus memahami pengertian NU dan Muhammadiyah terlebih dahulu.
Pengertian NU dan Muhammadiyah
1. NU (Nahdlatul ‘Ulama)
NU merupakan singkatan dari Nahdlatul ‘Ulama yang memiliki arti “kebangkitan ulama atau kebangitan cendekiawan Islam”. Nahdatul Ulama didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 31 Januari 1926.
KH Hasyim Asy’ari berasal dari daerah Jombang dan memilih metode pendidikan pesantren sebagai cara dakwahnya.
2. Muhammadiyah
Muhammadiyah berasal dari nama Nabi Muhammad SAW yang berarti “orang – orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW”. Muhammadiyah ini didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912.
KH Ahmad Dahlan berasal dari daerah perkotaan dan memilih cara syiar dengan pendidikan perkotaan.
Persamaan NU dan Muhammadiyah
Persamaan alamiyah dari kedua pendiri organisasi tersebut ada pada kitab Fiqih Muhammadiyah yang memiliki 3 jilid dan diterbitkan oleh Muhammadiyah bagian Taman Pustaka Jogjakarta pada tahun 1343 H.
Persamaan – persamaan tersebut meliputi sholat tarawih sebanyak 20 rakaat, ziarah atau talqin mayit di kuburan, melakukan diba’an atau membaca sholawat untuk memuliakan Nabi Muhammad SAW.
Selain itu kalimat takbir pada saat takbiran juga diucapkan sebanyak 3x, kalimat qad qamat as – Shalat saat iqomah diucapkan sebanyak 2x, dan memakai do’a qunut pada sholat subuh.
Serta warga Muhammadiyah mengadakan yasin dan tahlil seperti yang dilakukan oleh warga Nahdliyin. Dan yang terakhir adalah itsbat hilal yang sama sama memakai metode ruqyah.
Perbedaan NU dan Muhammadiyah
Dilihat dari persamaan NU dan Muhammadiyah diatas sebenarnya kedua organisasi tersebut sama meskipun casing berbeda. Namun setelah adanya dominasi politik oleh salah satu organisasi tersebut dimana organisasi yang lain tidak memegang kendali sama sekali pada tahun 1999.
Oleh sebab itu keduanya memiliki perbedaan yang cukup mencolok dan lama kelamaan semakin tampak di permukaan. Dan perbedaan yang cukup mencolok tersebut lebih jelasnya ada pada tabel dibawah ini
Perbedaan NU dan Muhammadiyah dalam Sholat
Bacaan Doa Iftitah Menurut NU
اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً. إِنِّىْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَالسَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. إِنَّ صَلاَتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. لاَشَرِيْكَ لَهُ وَبِذلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
Allaahu Akbaru kabira wal hamdu lillahi kathira, wa subhanallahi bukratan wa asila. Innii wajjahtu wajhiya lillazi fatharas samaawaati wal ardha haniifa muslimaw wa maa anaa minal mushrikeen. Inna salaati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi Rabbil ‘aalameen. Laa syariikalahu wa bidzaalika umirtu wa ana minal muslimiin.
Artinya: “Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya. Segala puji yang sebanyak-banyaknya bagi Allah. Maha Suci Allah pada pagi dan petang hari. Aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi dengan segenap kepatuhan dan kepasrahan diri, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan-Nya. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah kepunyaan Allah, Tuhan semesta alam, yang tiada satu pun sekutu bagi-Nya. Dengan semua itulah aku diperintahkan dan aku adalah termasuk orang-orang yang berserah diri (HR. Muslim).”
Bacaan Doa Iftitah Menurut Muhammadiyah
اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ، كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنَ الخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ
Allahumma baaid bainii wa baina khothoyaaya kamaa baatdta baiinal masyriki wal magrhribi, Allahumma naqinii min khothooyaa kama yunaqqos tahubul abtyaddhzu minad danas. Allahummaghsil khothoyaaya bilmaai watsalji wal barad.
Artinya: “Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan ku sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, sucikan lah kesalahanku sebagaimana pakaian yang putih disucikan dari kotoran. Ya Allah, cucilah kesalahanku dengan air, salju, dan air dingin.” (HR. Bukhari & Muslim)
Perbedaan NU dan Muhammadiyah dalam Tradisi Ibadah
Dalam hal ibadah, bisa kita lihat perbedaan yang kentara antara NU dan Muhammadiyah.
Pertama, pada bulan Ramadlan, warga Nahdliyin tarawih dengan jumlah rakaat sebanyak dua puluh dengan tiga rakaat witir. Sedangkan warga muhammadiyah jumlah rakaatnya adalah delapan dengan tiga rakaat witir.
Kedua, bagi warga NU malam jum’at adalah malam yang sakral. Pada malam ini masjid diramaikan dengan bacaan maulid nabi, tahlil, yasin, manaqib syaikh abdul Qadir al-Jaelani, barzanji dan sebagainya sedangkan tidak demikian yang dilakukan warga Muhammadiyah.
Ketiga, khutbah sholat Ied dilakukan sebanyak dua kali oleh warga NU sedangkan warga Muhammadiyah khutbah sebanyak sekali. Keempat, kalimat “allahu akbar” dalam takbiran hari raya diucapkan sebanyak tiga kali untuk warga NU sedangkan warga Muhammadiyah melafaldkannya sebanyak dua kali, kalimat qad qamat as-sholat dalam iqomat dibaca sebanyak dua kali untuk warga nahdliyin dan sekali untuk warga Muhammadiyah.
Keempat, terkait itsbat penentuan jatuhnya hari raya, NU memakai dasar rukyah sedangkan Muhammadiyah memakai hilal sebagai dasarnya.
Perbedaan NU dan Muhammadiyah dalam Pendidikan
Warga nahdliyin banyak menghabiskan waktu untuk belajar di pesantren yang salafi, mengolah sisi emosional dan “sendiko dawuh” pada ucapan kyai atau ulama tanpa banyak pertimbanganga logika, alhasil kurang rasional dan lebih simbolik.
Di lain sisi, warga Muhammadiyah yang banyak mengenyam pendidikan formal terkesan lebih rasional dan objektif. Mereka memilih partai yang mereka pikir benar.
Jika dalam perjalanan partai yang dipercaya tersebut tidak sesuai dengan rasio mereka, maka warga Muhammadiyah akan meninggalkan partai tersebut.
Perbedaan NU dan Muhammadiyah dalam Metode Ijtihad
NU memakai metode Bahtsul Masail untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi warga nahdliyin. Metode ini menekankan pendekatan cultural untuk menjaga nilai yang dahulu yang sudah baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik dari masa mendatang.
Pendekatan ini menerima pendekatan “cultural and local wisdom” dengan cara mengubah isi dari cultural dan local wisdom tersebut dengan nilai –nilai al-Qur’an dan as-Sunnah.
Di lain sisi, Majelis Tarjih Muhammadiyah yang disebut “Tajdid” menekankan pendekatan memurnikan aqidah dengan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.
Tujuannya adalah untuk menemukan dan memurnikan kembali ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah dari serangan TBC (takhayul, bid’ah, churafat). Ini sesuai dengan jargon yang di usung warga Muhammadiyah yang berbunyi “Kembali ke Alquran dan Hadits”
Perbedaan NU dan Muhammadiyah dalam orientasi politik
Partai politik yang senada dengan Muhammadiyah tidak berarti didirikan oleh Muhammadiyah.
Warga Muhammadiyah memahami bahwa Muhammadiyah secara historis bukan partai politik, tetapi organisasi sosial, agama, propaganda dan pendidikan.
Di lain sisi, warga Nahdliyin familiar dengan karakter NU yang bergumul dengan partai. Sulit dibedakan apakah partai yang seirama dengan NU didirikan oleh kyai tertentu atau tidak.
Perbedaan NU dan Muhammadiyah soal Doa Qunut
Doa Qunut bagi warga NU merupakan sunnah ab’ad yaitu sunnah yang apabila mengerjakannya mendapatkan pahala dan disunnahkan untuk melakukan sujud sahwi ketika lupa membacanya.
Hukum Doa Qunut berlandaskan pendapat dari Imam Muhammad bin Idris As-syafi’i dan sebagian ulama salaf dan khalaf. Landasan yang digunakan oleh NU dalam pendapat mereka adalah beberapa hadits terkait dengan qunut yang dilakukan oleh rasul dan sahabat. Dalam kitab al-umm jilid I/205 disebutkan bahwa Imam Syafi’i berkata :
“Tidak ada doa qunut pada shalat lima waktu selain pada waktu shalat subuh. Kecuali jika telah terjadi bencana, maka doa qunut boleh pada semua shalat jika imam menyukai”.
Adapula hadits yang diriwayatkan dari sahabat Anas R. A yang artinya “Bahwa Nabi saw. pernah qunut selama satu bulan sambil mendoakan kecelakaan atas mereka kemudian Nabi meninggalkannya.Adapun pada shalat subuh, maka Nabi melakukan qunut hingga beliau meninggal dunia”.
Hukum qunut sampai pada tingkat sunnah ab’ad terletak pada hadits diatas yang mengatakan bahwa Nabi melakukan qunut pada shalat subuh hingga meninggal dunia.
Sedangkan doa yang dibaca ketika qunut subuh adalah sejalan dengan salah satu hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah yang artinya: “Rasulullah Saw. jika beliau mengangkat kepalanya dari ruku pada rekaat kedua shalat subuh beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa : “Allahummah dini fii man hadait ….dan seterusnya”. (HR. Hakim dan dia menshahihkannya).
Atas dasar dua hadits diatas, kaum nahdiyin melakukan qunut pada shalat subuh rakaat kedua setelah i’tidal.
Beda NU beda pula Muhamadiyah, pada dasarnya dalil yang digunakan oleh Muhammadiyah sebagai dasar tidak melakukan qunut adalah sama, yaitu hadits yang diriwayatkan dari Anas r.a:
حدثنا عمرو بن علي الباهلي ، قال : حدثنا خالد بن يزيد ، قال : حدثنا أبو جعفر الرازي ، عن الربيع ، قال : سئل أنس عن قنوت النبي صلى الله عليه وسلم : « أنه قنت شهرا » ، فقال : ما زال النبي صلى الله عليه وسلم يقنت حتى مات
Hadits ini bercerita ketika sahabat Anas ditanya tentang qunutnya Nabi, dia menjawab bahwa Nabi melakukan qunut selama sebulan, qunut yang dimaksud disini adalah qunut nazilah yang dilakukan ketika ada saudara sesama muslim yang terkena musibah. Dan seterusnya dia berkata bahwa Nabi melakukan qunut sampai meninggal dunia.
Namun yang menjadi perbedaan adalah menurut muhammadiyah, kata qunut disini bukan berarti berdiri mengangkat tangan sambil berdoa “allahummahdina fiman hadait…dan seterusnya”, melainkan qunut disini berarti berdiri lama dalam shalat untuk membaca alquran dan doa doa yang disukai.
Berdiri lama juga tidak dikhususkan pada shalat subuh saja dan rakaat keduanya, melainkan pada setiap shalat dan setiap rakaatnya. Pendapat ini diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa sebaik baiknya shalat adalah shalat yang lama/ panjang.
Selanjutnya dalam putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah menetapkan bahwa qunut merupakan bagian dari setiap shalat dan tidak ada pengkhususan pada rakaat kedua setelah i’tidal shalat subuh; hadits tentang doa “allahummahdina fiman hadait…” tidak sah dan tidak dibenarkan untuk dijadikan landasan qunut subuh.
Dari pemaparan diatas, jelaslah bagi kita bahwa qunut mempunyai landasan yang sah dalam islam, akan tetapi penafsiran dan implementasi qunut berbeda antara NU dan Muhammadiyah.
Perbedaan penafsiran tersebut seyogianya dihadapi dengan sikap toleransi antara ormas yang ada, bukan saling menyalahkan bahkan mengkafirkan satu sama lainnya. Toleransi disini bisa tercipta ketika orang NU menghormati yang tidak menggunakan qunut saat subuh dan orang muhammadiyah juga menghormati orang yang qunut.
Hal tersebut bila diaplikasikan saat berjamaah dan yang menjadi imam orang NU maka hendaklah orang muhammadiyah mengikuti qunut dengan membaca doa sesukanya sesuai dengan kepercayaannya ataupun kalo tidak mau mengangkat tangan maka dia bisa membaca doa lain dengan tangan tetap dibawah.
Begitu pula sebaliknya jika yang menjadi imam orang muhammadiyah maka saat rakkaat kedua setelah i’tidal hendaklah ia memperlama berdirinya untuk memberikan waktu bagi orang NU membaca qunut sesuai dengan keyakinannya.
Dengan demikian tidak perlu lagi dibedakan antara masjid orang orang NU maupun masjid orang orang Muhammadiyah, orang NU yang jadi makmum orang Muhammadiyah tidak perlu mengulang shalatnya dirumah, akan tetapi cukup dengan menambah waktu saat rakaat kedua.
Sedangkan orang Muhammadiyah yang menjadi makmum orang NU tidak perlu ikut mengangkat tangan saat qunut, tapi cukup dengan berdiri lama dan berdoa sesuai keyakinannya.
Jika keadaan seperti ini terjadi maka kedua belah pihak sama sama telah melakukan dan mengamalkan hadits tersebut dengan aplikasi yang berbeda secara bersamaan.
Perbedaan NU dan Muhammadiyah soal Penentuan Lebaran
Metode Hisab saat Muhammadiyah ‘naik’ di media massa adalah ketika menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Pasalnya, Muhammadiyah yang memakai metode hisab terkenal selalu mendahului pemerintah yang memakai metode rukyat dalam menentukan masuknya bulan Qamariah.
Hal ini menyebabkan ada kemungkinan 1 Ramadhan dan 1 Syawal versi Muhammadiyah berbeda dengan pemerintah. Dan hal ini pula yang menyebabkan Muhammadiyah banyak menerima kritik, mulai dari tidak patuh pada pemerintah, tidak menjaga ukhuwah Islamiyah, hingga tidak mengikuti Rasullullah Saw yang jelas memakai rukyat al-hilal.
Bahkan dari dalam kalangan Muhammadiyah sendiri ada yang belum bisa menerima penggunaan metode hisab ini.
Umumnya, mereka yang tidak dapat menerima hisab karena berpegang pada salah satu hadits yaitu:
“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan bebukalah (idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tigapuluh hari” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Hadits tersebut (dan juga contoh Rasulullah Saw) sangat jelas memerintahkan penggunaan rukyat, hal itulah yang mendasari adanya pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah yang tidak punya referensi pada Rasulullah Saw.
Lalu, mengapa Muhammadiyah bersikukuh memakai metode hisab?
Berikut adalah alasan-alasan yang diringkaskan dari makalah Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. yang disampaikan dalam pengajian Ramadhan 1431.H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY.
Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk.
Sedangkan argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah sebagai berikut.
Pertama, semangat Al Qur’an adalah semangat menggunakan hisab. Hal ini ada dalam Surat Yasin “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5).
Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya.
Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan).
Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”.
Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat.
Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. M
uhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr.Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi.
Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar.
Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam.
Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi.
Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum.
Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu.
Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras diseluruh dunia.
Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian system waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita menggunakan hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat.
Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan:
“Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariahdi kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat”.
Dampak Perbedaan NU dan Muhammadiyah
- Adaya jarak antara NU dan Muhammadiyah yang dapat mengganggu silaturahmi dan menimbulkan kecurigaan dikalangan masyarakat yang menganut salah satu dari kedua organisasi tersebut.
- Warga NU tidak mudah diterima bekerja di lembaga Muhammadiyah dan sebaliknya.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai beberapa perbedaan NU dan Muhammadiyah. Jika kalian pengikut dari salah satu organisasi tersebut mohon lebih bijak lagi dalam berbuat dan dapat menerima perbedaan yang telah tercipta. Karena keduaya juga memiliki persamaan.
Cara Menyikapi Perbedaan NU dan Muhammadiyah
Mengawali pembahasan pada bab ini sebaiknya kita mengingat kembali kisah dimana Rasulullah SAW mengutus Mu‘adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman. Waktu itu Rasulullah bertanya kepada Muadz,
“Bagaimana kamu akan memutuskan perkara yang dibawa ke hadapanmu?
Muadz menjawab: ―Saya putuskan berdasarkan Kitabullah.
Rasulullah bertanya lagi: “Apabila kamu tidak mendapatkannya dalam Kitabullah?”
Muadz menjawab: Saya putuskan berdasarkan sunnah Rasul.
Rasulullah bertanya lagi: “Apabila kamu tidak mendapatkannya dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasul-Nya?”
Muadz menjawab: “Maka saya akan berijtihad (ra‟yi) dan saya tidak akan ragu sedikit pun.”
Rasulullah kemudian meletakkan tangannya ke dada Muadz dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah, sesuatu yang menyenangkan hati Rasul-Nya.” (HR Imam Tirmidzi dan Abu Dawud)
Ijtihad adalah bersungguh-sungguh dalam menggali hukum agama setelah memperhatikan sekalian ayat Al-Qur‘an dan Hadits Nabi SAW. Ijtihad yang dilakukan tidak hanya oleh seroang ulama saja, secara otomatis menghasilkan produk hukum yang berbeda-beda.
Dan penting ditegaskan bahwa hasil pengistimbatan hukum islam tak hanya dalam perkara-perkara yang tidak diketemukan dalam al-Qur‘an dan sunnah Rasulullah Saw, tetapi lebih luas lagi.
Sebab kita tahu, masing-masing ulama terkadang berbeda dalam menggunakan dan memahami istilah-istilah atau kata-kata dalam dua sumber hukum yang pokok tersebut, belum lagi pandangan yang berbeda tentang riwayat suatu hadist, nasakhmansukh dan yang pokok adalah metodologi pengistimbatan hukum itu sendiri.
Pemahaman tentang masalah tersebut di atas merupakan kunci bagaimana kita harus memaklumi perbedaan pandangan fiqh yang terjadi di masyarakat.
Fanatisme terhadap suatu pendapat tertentu boleh-boleh saja selama ia juga menghargai pendapat yang lain, yang juga memiliki orang-orang yang fanatik terhadapnya. Belajar fiqh sangat kurang jika kita hanya mempelajari satu pendapat ulama saja.
Oleh karena itu orang NU tidak keliru jika ia mempelajari fiqh Muhammadiyah, dan demikian pula sebaliknya. Sebab Belajar fiqh tidak lengkap tanpa kita mencoba memahami, untuk kemudian menghargai perbedaan pendapat.
# Persatuan Tak Harus Seragam
Perbedaan NU dan Muhamamdiyah sebagai organisasi dakwah, sosial, dan kemasyarakatan, terbesar di Indonesia sudah sepantasnya tidak hanya bertugas membantu masyarakat dalam memecahkan masalah-masalah fiqh, tetapi lebih jauh dari itu, membantu masyarakat mengenalkan fiqh secara utuh, tidak sepotong-sepotong.
Dalam arti lain, Perbedaan NU dan Muhammadiyah semestinya—dan ini sudah dilakukan meski tidak kentara—tidak mengenalkan produk fiqh melainkan bagaimana produk tersebut dihasilkan.
Disadari atau tidak, praktek amaliyah fiqh sangat rentan menimbukan perselisihan. Dan perselisihan tersebut tak diragukan bisa menyulut emosi negatif yang berbuntut pada perpecahan.
Namun, jika masyarakat secara total telah menyadari bahwa perbedaan pandangan fiqh merupakan suatu yang niscaya maka perpecahan diantara sesama Ummat Islam dapat lebih dihindari.
Ummat Islam harus bersatu itu jelas. Dan persatuan bukanlah bermakna sama dalam segala hal. Dalam masalah Aqidah jelas Ummat islam sama pandangannya, tetapi dalam urusan lain seperti pandangan tak bisa dipersatukan, ini bukan satu kesalahan.
Kita tahu, bahwa Islam sangat membenci perpecahan dan perselisihan.
Pernah suatu ketika Rasulullah bahkan memerintahkan kepada orang yang sedang membaca Al-Qur‘an agar menghentikan bacaaanya apabila bacaannya itu akan mengakibatkan perpecahan.
Dari Jundab bin Abdillah, Nabi SAW bersabda: Bacalah Al-Qur‟an selama bacaan itu dapat menyatukan hati kalian. Tapi, bila kalian berselisih, hentikanlah bacaan itu. (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Keutamaan persatuan ummat Islam banyak disinggung dalam al-Qur‘an:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali Imran: 103)
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Q.S. Ali Imraan ayat 105)
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-Hujuraat ayat 10)
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Anfaal ayat 46)
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (Q.S. Al-An‘aamayat 159)
Dari ayat-ayat di atas jelaslah kiranya bahwa Allah sama sekali tidak ridho apabila ummat Muhammad bercerai berai, berselisih, dan terpecah-belah. Perlu diingat ada banyak kalangan yang menghendaki Ummat Islam hancur dan pecah.
Cara mereka menghancurkan ummat Islam bukan hanya melalui serangan fisik tetapi juga dilakukan dengan cara mengadu domba antar sesama ummat Islam itu sendiri.
NU dan Muhammadiyah tentu harus lebih hati-hati dengan segala isu, termasuk isu-isu seputar perbedaan pandangan fiqih, jangan sampai perbedaan perbedaan masalah fiqh tersebut merusak persatuan Ummat Islam. Dalam hadis lain dinyatakan:
“Penyakit umat-umat sebelum kalian telah berjangkit kepada kalian, yaitu kedengkian dan permusuhan. Permusuhan adalah pencukur. Aku tidak mengatakan pencukur rambut, tapi pencukur agama. Demi Dzat, yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sehingga kalian saling mencintai.” (HR Imam Tirmidzi)
Harus diakui bahwa penyebab utama dari perpecahan adalah perbedaan, termasuk perbedaan fiqh. Selama kita masih tidak bisa menghargai pendapat orang lain, maka selama itu pula perbedaan akan menjadi suatu masalah yang mengancam persatuan ummat. Sikap toleransi haruslah senantiasai kita rawat dan lestarikan.
Di Indonesia memang sudah ada wadah untuk menyatukan ummat Islam dari berbagai macam organisasi kemasyarakatan yang ada, yaitu Majlis Ulama Indonesia (MUI).
MUI bukan sekadar lembaga fatwa yang tugasnya menyatakan halal dan haramnya sesuatu, tetapi semestinya ditempatnya sebagai wadah pemersatu Ummat dengan program-programnya yang konkrit.
# Membentuk Sikap Positif
Pendidikan, di mana di Indonesia sekolah dan pesantren menjadi tempat penyelenggaraan yang paling umum, mempunyai peran utama dalam membentuk sikap dan mental sebuah bangsa.
Mental dan sikap yang positif sangat ditentukan oleh bagaimana pendidikan dijalankan. Salah satu sikap yang seharusnya, karena tidak semua sekolah melakukan, adalah adalah sikap toleransi dan penghormatan atas perbedaan pendapat.
Untuk membentuk sikap tersebut, mula-mula yang mesti dijalankan adalah mengenalkan perbedaan itu sendiri. Bahwa Pendidikan agama Islam menjadi satu mata pelajaran pokok di setiap jenjang pendidikan namun pengenalan akan perbedaan-perbedaan pandangan fiqh dalam Islam masih jarang sekali ditekankan.
Pengajaran fiqh di sekolah maupun Pesantren hingga kini masih sering sebatas doktrin, dengan hanya mengajarkan atau mengenalkan satu pendapat saja.
Lebih-lebih jika instansi pendidikan tersebut merupakan instansi yang berada di bawah naungan suatu Lembaga atau Organisasi kegamaan tertentu.
Kita tahu, NU dan Muhammadiyah memiliki basis masa yang besar dan telah mendidikan banyak lembaga Pendidikan, baik yang formal maupun non formal.
Mereka yang belajar di lembaga pendidikan tersebut sangat penting untuk dikenalkan dengan fiqh ikhtilaf. Tidak dimilikinya wawasan perbedaan-perbedaan dalam fiqh Islam akan membuat pola pikir generasi muda menjadi sempit, mengira bahwa apa yang ajaran fiqh yang diamalkannya adalah yang paling ―benar dan yang lain adalah salah.
Hal ini jelas bisa menimbulkan prasangka buruk dan pada akhirnya akan mengurangi keharmonisan hubungan sesama Ummat Islam.
Dengan ummat lain agama saja Allah jelas-jelas telah menyuruh kita ummat muslim untuk bersikap toleransi, lebih-lebih dengan sesama muslim.
Batasan saling memahami dan saling mengerti adalah ketika suatu pendapat telah didasarkan pada hujjah yang disertai dengan dalil-dalil yang bisa diterima, ditelaah berdasarkan ilmu syar‘i, dan tidak bertentangan dengan nash yang sudah jelas.
Sudahlah, tak perlu lagi kita menyalahkan ubudiyah NU atau Muhammadiyah. Toh dari semua ubudiyah yang mereka kerjakan didasarkan pada dalil dan hujjah yang bisa ditelaah dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Perbedaan adalah rahmat, sunnatullah, karenanya kita mesti senantiasa membangun sikap positif di tengah perbedaan, hanya dengan itulah kita bisa rukun. Salah satu cara untuk membangun sikap positif itu adalah dengan mempelajari dan menelaah perbedaan-perbedaan itu sendiri.
NU dan Muhammadiyah memiliki metode yang berbeda dalam memandang masalah madzhab, hukum bermadzhab, dan ini sangat mempengaruhi istimbath hukum yang mereka keluarkan.
Selain juga metode pengistimbathan hukum, sumber dan dalil yang digunakan, sudut pandang yang digunakan juga terkadang berbeda sehingga tidak mustahil muncul ikhtilaf di antara keduanya.
Bukankah para ulama juga sudah menyatakan: “Barang siapa tidak mengetahui ikhtilaf ulama‘, maka dia belum bisa disebut ulama. Bahkan ada yang lebih tajam mengatakan, barang siapa tidak mengetahui ikhtilaf para fuqoha‘, maka hidungnya belum pernah mencium bau fiqih.”
Membangun sikap positif juga bisa kita kuatkan dengan mengingat beberapa sabda Rasulullah dan pendapat para Ulama fuqoha. Dalam masalah shalat misalnya, Rasulullah telah bersabda:
Nabi saw. bersabda,“Bershalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku bersahalat!”
Coba digaris bawahi kata ―sebagaimana kalian melihat” dari hadist di atas. Yang disuruh Nabi bukanlah shalat sebagaimana Nabi bershalat melainkan sebagaimana kalian melihat Nabi bershalat.
Dari hadist di atas, diambil pengertian bahwa, sudut pandang (penglihatan) yang berbeda mengenai shalat akan menghasilkan hukum yang berbeda pula. Jelas ini suatu yang tidak aneh dan perlu dipermasalahkan apalagi diperselisihkan.
Para fuqoha sekaliber Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i juga tak lupa menasehati kita untuk menjadikan sunnah sebagai madzhabnya.
Imam Abu Hanifah pernah menyatakan, “Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku.”
Senada dengan pernyataan Imam Syafi‘i: “Terkadang di antara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya.”
Di Indonesia sendiri ada teladan dari tokoh Muhammadiyah tentang sikap positifnya dalam menghadapi perbedaan.
Buya Hamka, seorang tokoh Muhammadiyah ini suatu ketika menerima tamu, K.H Abdullah Syafi‘i pendiri dan pemimpin Perguruan Asy-Syafi”iyah yang notabene memiliki pandangan fiqh yang berbeda.
Ketika di hari Jumat, KH. Abdullah Syafi”i mengunjungi Buya masjid Al- Azhar Kebayoran Jakarta Selatan, Buya meminta KH. Abdullah Syafi”i yang naik menjadi khatib Jumat menggantikan dirinya yang waktu itu sebenarnya pas mendapat tugas.
Demikianlah seharusnya kita dan para Ulama menyikapi perbedaan, bukan dengan menonjol-nonjolkan dan lantang berteriak, ‗pendapatku yang paling benar, yang lain neraka‘ melainkan menyikapinya dengan cara yang arif dan selalu berpikir positif.
# Menghindari Fanatisme Buta dalam Bertaqlid
Taklid sering diartikan dengan mengikuti pendapat dari ulama mujtahid. Orang yang taklid adalah orang yang tidak berijtihad atau mengistimbathkan hukum sendiri, melainkan mengikuti hasil ijtihad yang sudah dilakukan ulama terdahulu.
Orang taklid bukan berarti ia tidak mempelajari dalil dan hujjah dari produk hukum yang ia taklidi (ikuti), tetapi terkadang ia telah mempelajarinya dan setuju dengan pendapat tersebut sehingga ia ikuti.
Menurut menurut KH Nuril Huda, Ketua PP LDNU, taklid bagi orang awam taqlid atau mengikuti ulama mujtahid yang telah memahami agama secara mendalam hukumnya wajib, sebab tidak semua orang mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk mempelajari agama secara mendalam.
Pendapat ini didasarkan pada dua ayat al-Qur‘an:
“Tidak pantas orang beriman pergi ke medan perang semua, hendaknya ada sekelompok dari tiap golongan dari mereka ditinggal untuk memperdalam agama dan memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, mudah-mudahan mereka itu takut.” (QS At-Taubah: 122)
Dalam ayat ini, masih menurut Nuril Huda, jelas Allah SWT menyuruh kita untuk mengikuti orang yang telah memperdalam agama. Dalam ayat lain secara lebih tegas Allah SWT berfirman:
“Maka hendaknya kamu bertanya kepada orang-orang yang ahli Ilmu Pengetahuan jika kamu tidak mengerti.” (An-Nahl: 43)
NU sendiri jelas, menyarankan kepada kaum mislimin, khususnya yang awam, untuk bertaklid madzhab empat (Hanafi, Hambali, Maliki, Syafi’i), yang mana mereka telah dimaklumi oleh seluruh Ahli Ilmu, tentang keahlian dan kemampuan mereka dalam Ilmu Fiqih.
Meski NU mewajibkan taklid bagi orang awam, bukan berarti NU menyuruhnya. Bagi mereka yang memiliki kesempatan dan kemampuan tentu wajib mengetahui seluk beluk dalil yang dipergunakan oleh para fuqaha’.
Mengkaji seluk-beluk dalil dan hujjah para fuqoha adalah cara agar kita tidak terjebak pada fanatisme buta. Sikap fanatik terhadap suatu paham keagamaan atau organisasi kemasyarakatan seperti NU dan Muhammadiyah sebenarnya sah-sah saja.
Tetapi jika fanatiknya tidak disertai dengan ilmu, sangat rentan menyebabkan si fanatis tersebut menganggap golongannya yang paling benar (truth claim) dan yang lain sesat (wrong), lebih ekstrimnya kafir.
Tersebut di dalam majalah Suara Muhammadiyah, sebagaimana dikutip di situs resmi Muhammadiyah: “Oleh karena kita chawatir, adanja pernjeknjokan dan perselisihan dalam kalangan Muhammadijah tentang masalah agama itu, maka perlulah kita mendirikan Madjlis Tardjih untuk menimbang dan memilih dari segala masalah jang diperselisihkan itu jang masuk dalam kalangan Muhammadijah manakah jang kita anggap kuat dan berdalil benar dari Al qur‘an dan hadits.”
Perlu diingat bahwa fungsi didirikannya Majlis Tarjih adalah untuk memberikan bimbingan keagamaan dan pemikiran di kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya dan warga persyarikatan Muhammadiyah khususnya.
Jadi sumbangan yang diberikan Majlis tarjih bukanlah produk hukum yang sudah jadi, lebih penting dari itu adalah bagaimana proses pengambilan suatu hukum.
Apabila kita mengetahui bagaimana metode, dalil, sebuah produk hukum itu maka saat itulah kita akan bisa keluar dari fanatisme buta.
Bisa jadi kita menggunakan produk hukum Muhammadiyah, tetapi kita bukan warga Muhammadiyah, hanya setuju dengan ijtihad atau pengistimbathan hukum yang dilakukan oleh Muhammadiyah, tentu setelah mengetahui prosesnya.
Nasehat dari Imam Abu Hanifah berikut ini barangkali bisa menjadi bahan renungan kita bersama:
“Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil/memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut. dalam riwayat lain, haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku.”
Dan dalam riwayat lain,
“Sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami berpendapat pada hari ini, dan kami ruju‘ (membatalkan) pendapat tersebut pada pagi harinya. Dan dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya‘qub (Abu Yusuf), janganlah engkau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya.”
Beliau juga pernah berkata:
“Bila saya telah berkata dengan satu pendapat yang telah menyalahi kitab Allah ta‘ala dan sunah Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam , maka tinggalkanlah pendapatku.”
Terakhir, marilah kita kaji dan pelajari lagi hukum Islam yang selama ini kita jadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari.
Tak perlulah kita takut, untuk meninggalkan kepercayaan terhadap suatu pendapat fuqoha yang sudah kita praktekkan selama bertahun-tahun, jika suatu ketika kita menemukan atau meyakini pendapat kita yang lebih kuat.
Demikianlah pembahasan terkait pertanyaan yang lazim kami terima di Instagram @kabarmuhammadiyah maupun di fanspage Facebook Kabar Muhammadiyah.
Semoga uraian lengkap tentang perbedaan NU dan Muhammadiyah ini dapat menambah wawasan dan khazanah pembaca sekalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apakah Artikel ini bermanfaat bagi ANDA ?